Pada suatu hari, al-Hashin ibn Salam duduk sambil membaca Taurat, Perjanjian Lama,
kitab suci kaum Yahudi. Ia termasuk salah seorang pemuka agama Yahudi
dari Bani Qaynuqa yang tinggal di bahagian timur Madinah. Sebagai
seorang Yahudi, al-Hashin mengetahui, menjalankan ajaran agamanyadengan
baik, dan mengikuti segala perintah Tuhan yang dituliskan dalam
lembar-lembar yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. di Bukit Hawarib.
Al-Hashin mengamati salah satu ayat dalam Taurat yang berbunyi, “Dan Tuhan dari Sinai, terbit dan muncul di Sair, kemudian bercahaya di Gunung Faran.”
Al-Hashin ibn Salam menyedari kurnia dan
anugerah dari Allah yang telah memberinya hidayah dan keimanan. Ia
sering merenung dan berfikir serius. Dia antaranya ia memikirkan bahawa
Allah telah mengutus Nabi Musa a.s. sebagai nabi dan utusan-Nya yang
menyeru manusia ke jalan Tuhan. Setelah datangnya Nabi Isa a.s yang
diutus di Palestin. Kini, seorang nabi lain diutus.
Namun, ia tidak diutus untuk tidak dan
berasal dari kalangan Bani Israil seperti nabi-nabi sebelumnya, termasuk
Nabi Daud, Sulaiman, Ishak, Yaakub, bahkan hingga Nabi Zakaria dan Isa
a.s. Semuanya berasal daripada Bani Israil. Nabi yang baru ini berasal
dari garis keturunan Ismail. Ia pun tidak muncul di Palestin, tetapi di
Faran, tempat yang kini disebut Mekah. Nabi baru itu akan berhijrah ke
Yastrib – yang kelak disebut Madinah al-Munawwarah.
Melalui pemikiran dan perenungannya yang jernih, al-Hashin sampai pada kesimpulan yang benar dan mencapai hakikat sejati. Kerana
itu, ia sering berdoa kepada Tuhan agar memanjangkan umurnya sehingga
dapat bertemu dengan nabi baru itu dan mengikuti ajarannya.
Al-Hashin menyibukkan dirinya
dalam berbagai-bagai aktiviti sosial serta keagamaan, kerana ia termasuk
ulama Yahudi, yang harus menasihati kaumnya. Akidah sebahagian mereka
telah rosak dan sesat; mereka tidak lagi mengimani Tuhan dan melupakan
ajaran-ajaran-Nya. Jiwa mereka cacat dan dinodai kejahatan, kebencian,
dan kedengkian. Mereka mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan,
antara yang hak dan yang batil dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Meskipun demikian, keburukan dan
kerosakan akhlak sebahagian kaumnya tidak membuatnya beralih dari jalan
yang benar. Ia tetap kukuh dalam keyakinannya kepada Tuhan, seraya
menunggu datangnya khabar tentang nabi baru.
Akhirnya, al-Hashin mendengar khabar
tentang seorang bernama Muhammad ibn Abdullah yang mendakwahkan agama
baru dan mengajak manusia menyembah kepada Tuhan Yang Esa serta
meninggalkan penyembahan berhala. Orang itu mengaku sebagai nabi dan
utusan Tuhan. Kini, ia semakin yakin bahawa nabi yang dikhabarkan dalam
Taurat itu telah datang. Semakin besar pula keinginan untuk bertemu dan
bercengkerama dengannya.
Apakah ia belum mendengar khabar tentang datangnya seorang utusan Muhammad untuk penduduk Yastrib iaitu Mush’ab ibn Umair?
Pada suatu hari, Ketika sinar matahari
mulai meredup dan beranjak menuju peraduannya, al-Hashin baru saja
selesai mengerjakan kerja sehari-harinya di kebun kurma. Kelelahan, ia
duduk di bawah pohon Kurma seraya menikmati semilir angin yang sejuk
membelai tubuhnya. Kenikmatan suasana itu memberati kelopak matanya
sehingga lama-kelamaan ia tertidur di bawah naungan pohon kurma itu.
Dalam tidurnya, ia bermimpi cukup aneh…
Dalam mimpinya itu ia berjalan-jalan
dengan kepayahan melewati jalan setapak yang sempit. Di kiri kanannya
banyak tumbuh semak-semak berduri yang menggoreskan luka-luka kecil pada
kakinya. Ada banyak lubang dan bebatuan yang semakin membuatnya sulit
berjalan. Ia banyak berhenti untuk menghela nafas, baru kemudian
melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba, setelah lama berjala, ia
melihat di sebelah kanannya sebuah jalan yang mulus, tidak berbatu, dan
tanpa duri terpampang di hadapannya … jalan itu begitu mulus dan lapang.
Di kiri kanannya tumbuh pepohon yang rimbun menaungi para pejalan.
Segera ia beralih ke jalan itu dan merasakan kenikmatan serta kenyamanan
… hatinya pun merasa tenang dan bahagia setelah kelelahan sekian lama.
Namun, belum lagi lama berjalan, ia
telah terbangun dari tidurnya. Al-Hashin bangkit dengan fikiran masih
dipenuhi bayangan mimpinya. Ia putar ulang mimpinya itu dan merenung:
makna apakah yang dikandung mimpinya? Ia bertekad untuk menceritakan
mimpinya itu kepada kaumnya.
Apakah mimpinya itu merupakan petanda mengenai kehidupan yang akan dijalani al-Hashin?
Al-Hashin pun tidak mengetahui
jawapannya. Kerap kali ia putar ulang mimpi itu dalam kepalanya.
Sementara itu, ayat Taurat yang selama ini menyibukkan fikirannya pun
selalu terbayang dalam benaknya.
Tidak menunggu lama dalam peristiwa itu,
al-Hashin mendengar khabar gembira bahawa orang yang dinantikannya itu,
Muhammad putra Abdullah sang utusan Tuhan akan tiba di Yatsrib, sebagai
Muhajirin bersama sahabatnya.
Nabi Muhammad s.a.w datang ke Yatsrub
dan penduduk di sana menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan
penghormatan. Dengan gembira menyambut kedatangan Muhammad, setiap orang
mempersiapkan diri dan tampil dengan pakaian yang terbaik. Anak-anak
dan kaum wanita melantunkan nyanyi puji-puji mengagungkan Muhammad.
Setiap lelaki berusaha mengiringi langkah Muhammad dan sahabatnya Abu
Bakar sejak memasuki Yastrib seraya berharap bahawa tamu agung itu
berkenan singgah dan menjadi tamu di rumah mereka.
Nabi Muhammad s.a.w dan Abu Bakar
berjalan melintasi jalanan Yastrib diringi oleh semua orang yang
berjalan di belakangnya dengan sukacita hingga mereka tiba di perumahan
keluarga Amir ibn Auf.
Pada saat itu, al-Hashin tengah berada di puncak salah satu pohon kurmanya untuk membersihnya pelepah-pelepah yang kering. Ketika melihat kedatangan Rasulullah dan sahabatnya itu, ia berseru gembira, “Allahu Akbar!”
Sementara itu, di bawahnya berdiri
Khalidah bint al-Harits yang, mendengar teriakan al-Hashin, lansung
bertanya kepadanya, “Demi Allah, mendengar teriakaknmu, seakan-akan aku
mendengar khabar kedatangan Musa ibn Imran. Anak saudaraku, mengapa kau
berteriak seperti itu?”
Dengan rona muka yang bahagia al-Hashin
segera turun dari pohon itu dan berkata pada bibirnya, “Bibi, ia memang
saudaranya Musa, yang diutus oleh zat yang juga mengutus Musa. Itulah
yang dikatakan Taurat.” Khalidah berkata lagi, “Anak saudaraku, apakah
ia nabi yang dikhabarkan dalam Taurat, dan ia diutus saat ini, sekarang
ini?”
“Benar.”
Al-Hashin ibn Salam segera bergabung
dengan penduduk Yastrib lainnya menyambut kedatangan Nabi Muhammad saw.
dengan perasaan bahagia kerana mendapatkan limpahan dan kurnia kebaikan
dari Allah. Al-Hashin sendiri tidak henti-hentinya bersyukur kerana
doanya dikabulkan sehingga dapat bertemu dengan Sang Nabi.
Kedatangannya Nabi s.a.w ke Yatsrib
semakin menggelorakan hasrat al-Hashin untuk menemuinya. Ia segera pergi
dan bergabung di majlis Nabi s.a.w, dan mendengar beliau menyeru
orang-orang, “Wahai manusia, sebarkanlah salam kedamaian, berikanlah
makanan, dan sambungkanlah tali kasih sayang (silaturrahim), dan
solatlah di malam hari ketika orang-orang tidur nyenyak.”
Sungguh kalimat yang baik, murni, dan
suci, kalimat yang bersumber dari hati yang tulus dan murni, hati yang
memancarkan rasa aman, damai, dan cinta.
Al-Hashin merasa sangat berbahagia.
Ketika memerhatikan wajah baginda Nabi saw., semakin ia yakin bahawa
seruan yang didakwahkannya itu benar. Kalimat-kalimat semacam itu hanya
akan keluar dari lisan seorang nabi, yang diutus membawa risalah
daripada Allah.
Orang-orang yang hadir di sana berebut
dan saling berdesakan agar mendapatkan kesempatan untuk menyatakan
syahadat dan keislamannya di hadapan Nabi saw. Al-Hashin berhasil
mendapat kesempatan bagus untuk masuk dan mengadap kepada Rasulullah,
dan lansung menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasullah.
Lautan kebahagiaan lansung
memenuhi dan menggelorakan jiwa al-Hashin. Berkali-kali ia ucapkan
kalimat syahadat. Rasulullah menanyakan namanya, dan ia menjawab,
“Hashin.”
Namun Rasulullah segera mencelah, “Bukan, tetapi Abdullah.”
Sejak hari itu, al-Hashin berubah menjadi Abdullah ibn Salam. Ia tak lagi seorang Yahudi. Kini, ia adalah seorang Muslim tulen.
Abdullah ibn Salam kembali pulang ke
rumahnya, menemui keluarganya dan mengajak mereka kepada Islam. Mereka
semua menyatakan keislaman mereka, termasuk bibinya, Khalidah bint
al-Harits.
Abdullah ibn Salam tetap merahsiakan
keislamannya itu dari kalangan Yahudi lainnya, kerana ia telah mengenal
baik karekter mereka dan keburukan akhlak mereka. Pergaulannya yang lama
dengan kaum Yahudi dan kedudukan dirinya sebagai ulama Yahudi
membuatnya sangat memahami karakter dan sifat mereka.
Sifat dan perilaku buruk itu mereka
dapatkan sebagai kesan daripada keburukan dan seksaan yang mereka alami
di masa Firaun, serta kekejaman yang ditimpakan oleh Nebukadnezar
al-Kaldani, juga kekejaman penguasa Romawi. Kerana itulah kaum Yahudi
dikenal sebagai bangsa yang pendendam, pendengki, dan selalu
berprasangka buruk kepada pihak lain, bahkan kepada nabi-nabi mereka.
Maksudnya: “Maka (Kami laknatkan
mereka) dengan sebab mereka mencabuli perjanjian setia mereka, dan
mereka kufur ingkar akan ayat-ayat keterangan Allah, dan mereka pula
membunuh Nabi-nabi dengan tiada sesuatu alasan yang benar, dan mereka
juga mengatakan: “Hati kami tertutup (tidak dapat menerima ajaran Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad)”. (Sebenarnya hati mereka tidak
tertutup), bahkan Allah telah memeteraikan hati mereka disebabkan
kekufuran mereka. Oleh itu mereka tidak beriman kecuali sedikit sahaja
(di antaranya).” (an-Nisa: 155)
Sejarah juga mencatat akan usaha mereka
membunuh nabi mereka sendiri, iaitu Nabi Arami. Mereka juga membunuh
Nabi Zakaria. Al-Hashin atau Abdullah ibn Salam mengetahui betul
karakter dan sejarah kaum Yahudi, sejarah kebodohan dan kebengalan
mereka.
Pada suatu hari Abdullah ibn Salam
menghadap kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kaum Yahudi adalah kaum yang bengal. Dusta dan pembangkangan mereka
telah dikenal luas, begitupun upaya mereka menyimpangkan manusia dari
kebenaran. Seandainya mereka tahu aku telah masuk Islam, tentu mereka
akan mencela dan memusuhiku.”
Abdullah ibn Salam meminta kepada
Rasulullah untuk menyembunyikan di sebuah bilik, kemudian mengabarkan
keislamannya kepada kaum Yahudi. Ia ingin tahu bagaimana reaksi kaum
Yahudi ketika mengetahui bahawa ia telah masuk Islam, bahawa ia telah
menempuh jalan hakikat.
Kemudian Abdullah ibn Salam bersembunyi
di sebuah kamar dan Rasulullah mengundang beberapa pemimpin Yahudi ke
rumahnya. Setelah mereka tiba, Rasulullah bertanya, “Apakah di antara
kalian ada yang bernama al-Hashin ibn Salam?”
Mereka menjawab yakin, “Ia tuan kami, dan anak tuan kami. Ia adalah pemuka agama kami dan seorang alim di antara kami.”
Tidak lama kemudian, Abdullah ibn Salam
keluar dari bilik dan menemui mereka. Tentu saja para pembesar Yahudi
itu terkejut bukan kepalang. Mereka menarik ucapan mereka dan berkata,
“Kami salah, lelaki ini bukan golongan kami, dan bukan pemimpin kami.”
Orang-orang Yahudi itu saling
berpandangan di antara mereka, tanpa dapat berkata apa-apa. Ketika
mereka masih diliputi keraguan dan ketakjuban, Abdullah ibn Salam
menyempurnakan ucapannya, “Sedangkan aku, saksikanlah, aku bersaksi
bahawa Muhammad adalah utusan Allah. Dakwahnya adalah kebenaran.
Tidakkah kalian berislam?”
Kaum Yahudi itu masih diliputi
ketakjuban dan rasa tak percaya. Mereka murka sekaligus tak percaya
bahawa guru mereka ternyata telah berubah dan menjadi pengikut Muhammad.
Akhirnya mereka pulang seraya berkata mencela Ibn Salam, “Engkau
pendusta. Sungguh kau adalah kejahatan di antara kami dan anak
kejahatan. Engkau adalah kebodohan dan anak kebodohan.”
Peristiwa ini menunjukkan dusta
kaum Yahudi dan kebodohan mereka. Ibn Salam berkata kepada Rasulullah
saw., “Wahai Rasulullah, seperti telah kukatakan, kaum Yahudi adalah
kaum pembangkang yang bengal. Tidak ada keimanan sejati dalam diri
mereka. Dan mereka sama sekali tidak boleh dipercaya. Mereka tak pernah
memegang teguh janji mereka.”
Tidak lama menunggu, Allah menurunkan ayat al-Quran yang bermaksud:
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang Kami berikan Kitab itu mengetahui serta mengenalinya (Nabi Muhammad
dan kebenarannya) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian dari mereka berusaha menyembunyikan
kebenaran itu sedang mereka mengenai (salahnya perbuatan yang
demikian).” (al-Baqarah: 146)
Mendengar ayat itu dibacakan di
hadapannya, dan melihat bagaimana Rasulullah mendapatkan wahyu itu,
Abdullah ibn Salam merasa sangat bahagia. Kecerian dan kesenangan
memenuhi jiwanya lalu memancar ke seluruh tubuhnya. Ayat Allah itu
meneguhkan hakikat yang telah diketahui dan dipegang teguh oleh Ibn
Salam, hakikat yang diingkari oleh kaum Yahudi lainnya. Mereka telah
mendusta, mendustakan, dan bersikap membangkang terhadap kebenaran.
Sebelum pulang, Abdullah ibn Salam berkata kepada Rasulullah, “Demi
Allah, aku mengenalmu lebih banyak dan lebih dalam ketimbang anak-anak
dan keluargaku.”
Sejak saat itu dimulailah diskusi, perdebatan, dan perbincangan yang seru antara kaum Yahudi dan kaum muslim.
Kehidupan Abdullah ibn Salam berlangsung
sebagaimana biasanya. Ia tinggal di Madinah sebagai sebahagian dari
umat Islam. Ia bahagia dengan keislamannya. Baginya, tinggal di sisi
Rasulullah untuk membela dan membantu dakwahnya adalah kebahagian yang
tak berbanding. Ia selalu duduk paling depan di antara sahabat-sahabat
lainnya ketika Rasulullah menggelar majlis ilmu.
Tidak ditemui catatan yang jelas tentang
keterlibatan Abdullah ibn Salam dalam peperangan yang disertai umat
Islam, baik menghadapi kaum Quraisy mahupun ketika mengepung dan
mengusir kaum Yahudi, atau ketika mereka menghadapi kedua-dua musuh itu
yang bersekutu menyerang kaum Muslim.
Namun yang pasti, ia merasa bahagia
mendengar khabar kemenangan kaum muslim melawan musuh-musuhnya. Ia
senang melihat cahaya Islam semakin jauh menyinari orang-orang dari
kawasan yang berbeza-beza di sekitar jazurah Arab. Ia bahagia dengan
semakin luasnya wilayah negara Islam sehingga menyentuh kawasan Iraq,
Syria, dan Mesir … ia bahagia dengan kemenangan Islam dan Rom dan Parsi.
Ibn Salam banyak terlibat dalam berbagai peristiwa historis umat Islam.
Ketika Rasulullah wafat, baginda
digantikan oleh Abu Bakar yang menjadi khalifah, pemimpin umat Islam.
Kemudian Umar menggantikannya, kemudian Uthman ibn Affan. Mereka semua
selalu menghormati Abdullah ibn Salam, mengingat kedudukannya dan
kesolehannya.
Pada suatu hari, para sahabat Rasulullah
sedang duduk di Masjid Nabi. Di tengah-tengah mereka duduk seorang
lelaki tua. Aura wajahnya tampak mengesankan dan memikat setiap orang
yang memandangnya. Ia tengah berbicara kepada hadirin menyampaikan
nasihat dan ajaran-ajaran keagamaan. Dialah Abdullah ibn Salam.
Ia berbicara kepada orang-orang di
sekitarnya dengan gaya tutur yang santun. Lembut, dan berwibawa.
Orang-orang duduk mendengarkan dengan khusyuk. Setelah majlis ilmu itu
selesai, Abdullah ibn Salam keluar dari majlis untuk berjalan sesuai
dengan kehendak hatinya.
Ketika ia keluar masjid, seseorang yang
ikut mendengarkan ceramahnya berkata, “Siapa saja yang suka melihat
wajah seorang ahli syurga, lihatlah laki-laki itu.” (yang dimaksudkannya
adalah Ibn Salam).
Seorang sahabat yang bernama Khursyah
ibn al-Hurr, yang ikut menghadiri majlis ini, berkata kepada dirinya
sendiri, “Demi Allah, aku akan mengikutinya hingga aku mengetahui
rumahnya.”
Khursyah mengikuti Abdullah ibn Salam.
Namun di tengah perjalanan Abdullah memanggilnya dan bertanya, “Apa
keperluanmu, wahai saudaraku?”
Khursyah menjawab, “Aku mendengar
orang-orang berbicara tentangmu ketika engkau keluar dari masjid, “Siap
saja yang suka melihat wajah seorang ahli syurga, lihatlah laki-laki
itu’. Itulah yang mendorongku untuk mengikutimu.”
Abdullah ibn Salam berkata, “Hanya Allah
yang mengetahui tentang ahli syurga. Aku akan bercerita kepadamu
tentang hadis yang mereka bicarakan.”
Kemudian Abdullah ibn Salam mulai
menceritakan kisahnya. Ketika aku tidur, aku bermimpi. Seorang lelaki
mendatangiku dan berkata kepadaku, “Bangkitlah.” Kemudian ia memegang
tanganku. Dan aku pun pergi bersamanya. Kami tiba di hadapan
persimpangan. Aku mencuba berjalan ke arah kiri, namun laki-laki itu
menahanku dan berkata, “Jangan ambil jalan yang kiri, kerana jalan itu
adalah jalan golongan kiri.”
Lalu aku melihat ke jalan sebelah kanan, dan lelaki itu berkata, “Ambillah jalan ini.”
Kemudian kami berjalan hingga tiba di
sebuah tiang yang sangat tinggi. Dasarnya tertanam di bumi dan puncaknya
menyentuh angkasa. Dari puncak tiang itu tergantung seutas tali. Lelaki
itu berkata, “Panjatlah tiang ini.”
“Bagaimana boleh memanjat tiang ini sedangkan puncaknya menembus cakerawala?”
Ia memegang tanganku dan tiba-tiba saja aku telah bergantung pada tali itu berusaha memanjat tiang.
Entah apa yang terjadi berikutnya kerana
fajar membangunkanku. Keesokan paginya aku menemui Rasulullah dan
menceritakan mimpiku. Rasulullah bersabda,
“Jalan yang kau lihat di sebelah kirimu adalah golongan kiri. Jalan yang ada di sebelah kananmu adalah jalan golongan kanan. Sedangkan mengenai gunung, itu adalah tempat para syuhada. Kau tidak akan mendatanginya. Dan tiang tinggi yang puncaknya di angkasa dan dasarnya di bumi adalah tiang Islam. Tali yang kau gunakan untuk memanjat adalah tali Islam. Kau akan terus memegangnya hingga akhir hayatmu.”
Khursyah senang mendengar kisah itu dan berharap semoga dirinya termasuk ke dalam golongan ahli syurga.
Keadaan berlangsung di Madinah selari
dengan harapan semua kaum Muslim. Mereka hidup bahagia dan dipenuhi
harapan yang indah mengenai kemajuan agama mereka. Kini, cahaya Islam
telah tersebar ke wilayah yang jauh lebih luas. Pasukan Muslim berjaya
menewaskan pasukan Parsi di timur dan bersiap-siap menakluk Mesir.
Muaz ibn Jabal termasuk pasukan tentera
Muslim yang turut serta dalam misi penaklukan Syria. Namun, ia diserang
wabak penyakit di sana. Ia pulang ke Madinah dalam keadaan sakit yang
teruk.
Dengan hikmah yang dimilikinya, Abdullah
ibn Salam mengetahui apa yang dideritai Muaz ibn Jabal dan menyedari
bahawa ajalnya tidak lama lagi. Kerana itu, ia berkata kepada Muaz,
“Wahai Muaz, berilah kami wasiat.”
Muaz, yang telah meraih hakikat, berkata
kepada para sahabat yang hadir di sekitarnya, “Carikanlah ilmu dari Abu
Darda, Salman, Ibn Mas ‘ud, dan Abdullah ibn Salam, seorang Yahudi yang
masuk Islam. Aku mendengar Rasulullah bersabda tentangny, ‘Sesungguhnya
ia termasuk dari sepuluh ahli syurga.”
Wasiat itu merupakan persaksian yang
jelas mengenai kedudukan dan keutamaan Abdullah ibn Salam. Kehidupan
Abdullah ibn Salam berlangsung dengan tenang. Ia diselamatkan daripada
konflik sosial-politik yang berlaku di masa-masa akhir kekhalifahan
Uthman ibn Affan serta konflik antara Ali ibn Abu Talib dengan Muawiyah
ibn Abu Sufyan.
Ketika mengetahui bahawa Ali ibn Abu
Talib berniat menghantar pasukan tentera ke Iraq untuk menyerang para
pembemrontak, Abdullah ibn Salam memberi nasihat, “Wahai Ali, tetaplah
bertahan pada mimbar Rasulullah s.a.w. Jika kau meninggalkannya, kau
tidak akan kembali ke sana.”
Tetapi Ali tidak mengikuti nasihat Ibn Salam dan berkata, “Abdullah ibn Salam adalah lelaki yang soleh.”
Dan terjadilah apa yang telah terjadi ke atas diri Ali ibn Abu Talib. Abdullah ibn Salam meninggal dunia pada tahun 43 Hijrah.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada Abdullah ibn Salam, kerana Dia telah menunjukinya kepada Islam
dan berjuang dengan tulus ikhlas membantu dakwah Rasulullah sehingga
Rasulullah memberikannya khabar gembira sebagai salah seorang ahli
syurga.
Sumber: kisahbest.my
0 comments:
Post a Comment